BEBERAPA CATATAN TENTANG SASTRA (INDONESIA)
DALAM PERSPEKTIF
INTERKULTURALISME[1]
Aprinus Salam
Pengantar
Sastra (Indonesia) merupakan hasil dari satu proses
panjang interkulturalisasi berbagai budaya di Indonesia,
secara khusus termasuk di dalamnya pilihan terhadap sastra berbahasa Indonesia.
Berbagai budaya yang dimaksud meliputi kompleksitas dan level genre budaya di
dalam masyarakat yang dikemas ke dalam karya sastra. Dalam konteks ini sastra
dapat dijadikan ajang representasi bagaimana proses-proses budaya yang telah
dan sedang terjadi, dan bahkan kemungkinan proses ke arah mana kebudayaan akan
berlangsung di masa depan.
Sementara itu,
hal yang dimaksud dengan interkulturalisme dalam karya sastra adalah
bagaimana berbagai (asal) budaya yang
berbeda dipahami, dinilai, diterima, atau dikeluarkan (ditolak) dalam satu
perspektif dan tindakan budaya tertentu (penulisan sastra) sehingga dalam
proses tersebut secara imajinatif menuju dan menjadi satu bentuk cara
kehidupan tertentu yang berbeda dengan
kenyataan sesungguhnya. Dalam hal ini sastra menjadi sebuah atau sistem model
kehidupan kedua (Lotman, 1977), suatu alternatif. Sementara itu, varian-varian parole dan genre
sastra merupakan variasi-variasi bagaimana proses interkulturalisasi itu telah
dan sedang terjadi.
Dalam berbagai
proses pewadahan imajinatif tersebut, sastra Indonesia memperlihatkan beberapa
gejala dan pengelolaan yang berbeda bergantung konteks dan formasi diskursif, ataupun
peristiwa-peristiwa sosial dan empirik yang mengondisikan keberadaan sastra.
Namun, terdapat beberapa sudut pandang tentang
interkulturalisasi dan interkulturalisme tersebut. Pertama, seperti telah
disinggung, bahwa pada ujung-ujungnya, sastra Indonesia merupakan proses
interkulturalisasi berbagai budaya, dan cara kehidupan dipraktikkan. Hal ini
berangkat dari satu asumsi bahwa manusia (pengarang), dalam pengertian terbatas
pun, merupakan proses panjang hasil interkulturalisasi sehingga karya sastra secara
inheren merupakan produk interkultur.
Kedua, jika diandaikan teks sastra sebagai sesuatu
yang mandiri maka karya sastra dapat ditempatkan sebagai medan tekstual
bagaimana secara intrinsik budaya-budaya yang berbeda diposisikan, dikelola,
dinilai, dan kemudian dinarasikan. Hal tersebut terjadi jika dalam karya sastra
tersebut terdapat berbagai karakter (tokoh-tokoh) yang berasal dari budaya ataupun
setting yang berbeda. Suatu kajian
tentang posisi, pengelolaan, penilaian, dan kontekstualisasi fakta cerita dalam
karya sastra tersebut merupakan kajian yang penting untuk mengetahui bagaimana
kultur yang berbeda saling dipertemukan, saling mengisi, atau dipertentangkan.
Ketiga, dalam konteks ini bisa pula karya sastra
dapat ditempatkan sebagai satu karya ”etnografis” tertentu, sebagai satu
tulisan persentuhan antarbudaya, antara pengarang dengan budaya tertentu.
Sebagai misal, seorang pengarang dari Batak menulis tentang masyarakat Sumbawa.
Cara pandang, narasi-narasi, dan artikulasi merupakan masalah yang penting
untuk dikaji karena karya sastra menjadi wadah negosiasi antara dua kultur (atau
lebih) yang berbeda. Kajian terhadap karya sastra itu menjadi penting untuk
mengetahui bagaimana kebudayaan yang berbeda dipahami, dinilai, atau bahkan
untuk ”tidak disukai” dalam satu perspektif budaya tertentu yang berbeda.
Keempat, sangat mungkin mekanisme sastra dan
interkultur yang dimaksud adalah upaya mengkaji dan menafsirkan karya sastra
dalam perspektif budaya penafsir. Misalnya, bagaimana orang Jawa membaca karya
sastra Bugis atau Sunda, dan sebagainya. Artinya, terdapat persentuhan budaya
yang berbeda dalam berbagai level, sudut pandang, dan genre yang memungkinkan
karya sastra ditafsirkan dalam cara-cara sesuai dengan konteks yang
mempertemukan antara pengarang, sastra, dan penafsir (pembaca).
Dari berbagai perspektif tersebut, sejauh ini hal
yang cukup dianggap dominan (arus utama) adalah asumsi pertama, yakni karya
sastra sebagai wadah interkulturalisme (Bdk. Pavis, 1992). Dalam pengertian
yang lebih luas asumsi tersebut juga digunakan untuk karya seni lainnya seperti
film, teater, dan tari, Artinya, sebuah karya seni pada akhirnya merupakan
terminal dari sebuah proses panjang berbagai pertemuan, gesekan, saling mengisi
dan menolak berbagai budaya. Secara sederhana hal tersebut mengingatkan kita
bahwa tidak ada karya seni (sastra) yang lahir dari kekosongan budaya (Teeuw,
1985). Seorang panafsir juga tidak menafsirkan karya sastra dengan kekosongan,
tetapi berdasarkan asumsi, storage, tujuan, dan kepentingan
tertentu
Di Balik Interkulturalitas:
Mancari Faktor
Masalahnya adalah hal-hal apa yang ingin dicari
(atau dijawab) dalam kajian sastra dalam perspektif interkulturalisme. Persoalan
ini berkaitan dengan kemungkinan bagaimana menjelaskan tujuan dan manfaat suatu
analisis dalam perspektif interkulturalisme. Memang, kajian interkulturalisme
seolah bertumpang-tindih dibandingkan perspektif multikulturalisme. Hal itu
tidak perlu terjadi karena asumsi-asumsi yang dibangun dalam dari dua
perspektif tersebut sudah berbeda dari awalnya.
Multikulturalisme
lebih sebagai satu gerakan politik kebudayaan untuk mengandaikan bahwa entitas
budaya itu dalam posisi sederajat dan selayaknya saling menghormati dan
menghargai. Multikulturalisme merupakan sebuah pandangan yang mengupayakan untuk mengakui
kesederajatan kelompok-kelompok yang berbeda baik secara individual,
kemasyarakatan, maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson
2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dipandang mempunyai
kebudayaan yang berlaku umum dengan corak seperti mosaik yang mencakup kebudayaan-kebudayaan
kecil di dalamnya (Reed, ed. 1997).
Sementara itu, dalam perspektif pembicaraan di
sini, interkulturalisme justru menjelaskan faktor-faktor, proses dan mekanisme,
atau ke arah mana proses interkulturalitas dalam karya sastra. Artinya, sudut
pandang interkulturalisme adalah suatu upaya yang mencoba menjelaskan
relasi-relasi antarbudaya, proses-proses negosiasi, dan hal-hal apa saja yang
berpengaruh terhadap relasi dan negosiasi tersebut, dan mengapa hal tersebut
terjadi.
Berdasarkan pembacaaan terhadap sejumlah karya
sastra (dalam hal ini novel) maka diperkirakan terdapat sejumlah faktor yang
berpengaruh terhadap relasi-relasi antarbudaya tersebut. Hal-hal itu antara
lain faktor politik, ekonomi, pendidikan, agama, teknologi, seksualitas,
tradisi, dan gender. Dalam kesempatan ini tidak semua faktor dibicarakan,
tetapi hanya membicarakan faktor agama, politik, dan ekonomi.
Boleh dikata, berdasarkan sejumlah novel, faktor
politik merupakan faktor paling penting dalam proses pergesekan antarbudaya. Keinginan
manusia untuk berkelompok, atau bermasyarakat, atau bahkan berbangsa dan
bernegara berdasarkan unsur etnis, ras, agama, daerah, atau kebahasaan,
merupakan faktor politik yang layak diperhitungkan sehingga faktor tersebut
memisahkan atau mempertemukan individu-individu. Persoalannya adalah bagaimana
manusia mempraktikkan politik dalam mengelola kelompok, masyarakat, bangsa,
atau negara tersebut.
Sebagai misal, di dalam novel-novel pada masa Orde
Baru, peristiwa 1965 merupakan peristiwa yang, di balik itu, faktor politik merupakan
faktor utama yang banyak mendapat sorotan, dan kelak secara kultural
berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia. Berkat peristiwa 1965,
negara Orde Baru mengembangkan satu politik kebudayaan, yang di dalamnya
termaklumatkan dalam apa yang biasa disebut dengan sensivitas SARA. Sebagai
konsekuensinya, novel-novel Orde Baru melakukan kompromi dan keberpihakan yang
”sederhana” untuk menempatkan SARA dalam batas-batas interkulutralitas secara
aman.
Sebagai akibatnya, novel-novel Indonesia pada masa
Orde Baru tidak secara eksploratif berupaya menelanjangi perbedaan atau penerimaan
antar-SARA secara terbuka sehingga pembaca tidak mendapat refleksi yang cukup
berharga tentang relasi antar-SARA secara signifikan. Proses-proses
interkulturalitas yang terjadi lebih pada ”wilayah tidak sakral” yang tidak
berhubungan dengan SARA, yakni persentuhan dan pergaulan internal antarbudaya,
misalnya perbedaan budaya dan upaya saling memahami antara budaya orang tua dan
budaya anak muda, atau lelucon-lelucon perbedaan antara budaya kota dan budaya
desa. Hal tersebut terlihat menjadi sebuah gejala umum tidak hanya dalam novel,
tetapi juga menjadi gejala dalam film-film Indonesia.
Di samping faktor politik, ekonomi juga merupakan
faktor utama dalam proses perjumpaan antarbudaya. Faktor ekonomi jauh lebih
aman daripada faktor politik. Sebagai misal, dalam beberapa novel, karena
seseorang miskin, mereka melakukan migrasi (ke kota) untuk mencari penghidupan
yang lebih layak. Karena mereka migrasi, seseorang bersentuhan dengan budaya
yang berbeda dari tempat asalnya. Boleh dikata, sebagian besar novel
menceritakan bagaimana para tokoh berpindah dari tempat asalnya, dan dalam
proses itu tokoh mendapat pengalaman kultural yang berbeda, dan menyebabkan
tokoh tersebut menjadi sesuatu yang berbeda berkat proses interkultralisasi.
Agama formal merupakan sesuatu yang dianggap sebagai
motor atau sumber inspirasi bagi berbagai tindakan sosial dan ekonomi, atau
sebagai konsep filosofi dan etik yang berpengaruh terhadap masyarakat (Weber,
1958). Agama berperan sangat penting dalam berbagai kebudayaan sehingga agama
dianggap salah satu pemicu berbagai tindakan kultural, dalam berbagai tujuan
dan kepentingan. Berdasarkan pembacaan terhadap sejumlah novel-novel pada masa
Orde Baru, maka agama formal perlu diperhitungkan sebagai salah satu faktor
penting bagi proses interkulturalisasi, tetapi dalam pengertian terbatas.
(Dalam konteks yang berbeda, bandingkan juga dengan tesis Leur, 1955).
Hal tersebut dimungkinkan karena hal itu masih
berkaitan dengan terjadinya semacam kesungkanan untuk menjadikan agama sebagai
satu sistem nilai yang membedakan orang per orang dan hal itu masih berkaitan
dengan politik SARA yang diterapkan oleh negara (Orde Baru) dalam mengelola
masyarakat Indonesia, termasuk dalam mengelola atau mengontrol imajinasi para
pengarang Indonesia. Paling tidak novel terkenal karya Umar Kayam, Para Priyayi, memperlihatkan
kecenderungan tersebut. Beberapa novel Kuntowijoyo dan Ahmad Tohari memang
menyinggung persoalan dan peranan agama dalam proses interkulturalitas. Akan
tetapi, posisi agama dalam beberapa novel tersebut ditempatkan sebagai suatu
agama yang tidak formal, yakni berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan individu
yang bersifat kultural.
Di balik faktor-faktor di atas, secara kultural
terdapat sejumlah kekuatan diskursif lain sebagai pembentuk kebudayaan yang ikut
menentukan perbedaan dan persamaan budaya sehingga faktor-faktor tersebut
menjadi berbeda atau sama dalam aktualisasinya. Hal-hal itu antara lain;
pandangan dunia, kepercayaan, nilai-nilai, pengalaman sejarah, mitos(logi), dan
berimplikasi terhadap otoritas status (struktur sosial) dalam masyarakat
bersangkutan (Asante, 1980). Berbagai kekuatan diskursif pembentuk tersebut
yang menyebabkan berbagai perbedaan dan kesamaan setiap individu sebagai
anggota masyarakat.
Hal yang Memasukkan dan
Mengeluarkan
Berdasarkan hal itu, dalam praktiknya, terdapat
nilai yang bersifat menyamakan dan membedakan cara hidup dan identitas kultural
seseorang. Sebagai misal, nilai kultur modern dan tradisional, atau kultur kota
dan desa, tidak saling mengeluarkan. Artinya, seseorang bisa keluar masuk untuk
menerima dan menjadi orang modern atau orang kota, tetapi ia tidak harus
kehilangan identitas tradisional dan (atau desa) nya. Hal itu dimungkinkan
karena nilai-nilai modern dan tradisional tidak secara ketat memiliki ”syariah”
yang baku untuk menerima atau mengeluarkan.
Di samping itu, walaupun dalam banyak hal modernitas
atau tradisionalitas memberikan nilai kultural yang berbeda, tetapi nilai-nilai
modernitas dan tradisionalitas tidak memiliki kepentingan untuk dipertentangan,
bahkan secara individual bisa ”harmonis” dalam diri seseorang, atau pada
tataran kemasyarakatan nilai-nilai tersebut dapat hidup berdampingan. Tokoh
Lasi dalam Bekisar Merah, tidak
pernah kehilangan identitas sebagai orang desa, walau dia di belakang hari ia hidup
di kota besar dan terliaht modern. Tokoh Kanjat juga tidak hilang
tradisionalitasnya walau ia seorang Insinyur Pertanian yang berpikir sangat
modern.
Dalam batas-batas tertentu nilai-nilai ras dan
etnisitas dapat dipertemukan dengan adanya proses asimilasi atau akulturasi. Asimilasi
adalah suatu kepercayaan bahwa kebudayaan bisa bercampur dan menimbulkan
kebudayaan baru. Biasanya kebudayaan lama bisa menghilang dan masyarakat
memperbarui budayanya sesuai dengan perkembangan, konteks yang menentukan ke
arah mana perkembangan itu harus dibawa. Sementara itu, akulturasi adalah suatu
proses sosial bertemunya dua kebudayaan atau lebih. Biasanya kebudayaan asli
orang tersebut tidak hilang, tetapi seolah mengalami “modifikasi”.
Proses asimilasi dan akulturasi tersebut tentu
tidak dapat dipetakan dalam kategori-kategori dan proses yang sederhana. Hal
itu dikarenakan variabel yang dimungkinkan bercampur aduk dengan konteks aktual
yang terjadi, seperti tingkat pendidikan,
kelas/status sosial dan ekonomi, usia dan pengalaman hidup, gender,
lingkungan dan sejarah sosial, dan sebagainya. Dalam beberapa hal proses
akulturasi cukup berjalan baik di Indonesia, tetapi proses asimilasi masih
diaggap bermasalah berkaitan dengan politik SARA yang dijalankan pemerintah
kolonial ataupun pemerintah Orde Baru.
Dalam karya sastra potret representasi asimilasi
dan akulturasi dapat diandaikan sebagai satu model alternatif terhadap dan
berhadapan dengan realitas kultural yang terjadi di masyarakat. Tokoh Boy
Saputra, seorang keturunan Cina, dalam Jalan
Menikung karya Umar Kayam, bahkan dihadirkan sebagai orang yang halus,
sopan, dan baik hati, yang kesannya ”lebih Jawa” daripada orang Jawa. Artinya,
Boy Saputra diasumsikan mengalami proses terlanjur kelewatan menjadi Jawa. Masih
di novel yang sama, tokoh Eko dan Claire, merupakan representasi bagaimana
proses akulturasi dihadirkan secara mesra, tanpa Eko dan Claire harus
kehilangan nilai-nilai kultural dari budaya mana mereka berasal.
Bahasa, sebagai salah satu situs penting
interkulturalisasi, termasuk tidak mengeluarkan seseorang dari basis
kulturalnya. Seseorang yang berasal dari Gunung Kidul, kemudian bekerja
beberapa tahun di Jakarta, bahasanya akan berubah menjadi sesuatu yang lain.
Sangat mungkin ia bergaya orang Gunung Kidul dengan beberapa diksi dan dialek
Jakarta. Sangat mungkin pula orang tersebut mencampurkan bahasanya dengan
Bahasa Inggris sebagai simbol kemoderan. Akan tetapi, dengan menggunakan bahasa
”tiga dimensi” tersebut, ia tidak keluar dari identitas asalnya sebagai Gunung
Kidul. Tidak ada nilai suci dalam berbahasa yang menyebabkan seseorang dikeluarkan
dari basis asal kulturalnya.
Hal yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana
bahasa ”tiga dimensi” tersebut dikelola dan menjadi aktualisasi diri tokoh kita
dari Gunung Kidul tersebut. Pada umumnya bahasa ”tiga dimensi” tersebut adalah
kosa kata yang paling sering muncul dan populer dipakai banyak orang, mungkin
media massa seperti televisi. Dengan demikian, dalam berbahasa dapat diketahui
apakah seseorang mengalami popularisasi budaya atau tidak, dan ke arah mana
perkembangan bahasa populer masyarakat.
Hal tersebut berbeda dengan nilai-nilai kultural
berdasarkan keyakinan agama ”formal”. Karena agama memiliki kriteria nilai dan
syariah yang relatif baku, maka proses dan mekanisme interkulturalisasinya,
dalam prosesnya, bisa saling mengeluarkan. Seseorang secara kultural akan
mengalami kesulitan jika memodifikasi di antara dua nilai tersebut karena nilai-nilai
yang ditawarkan agama akan mengeluarkan di satu identitas nilai tertentu, dan
memasukkan ke identitas tertentu yang lain.
Memang, Emha Ainun Nadjib dan Kyai Kanjeng bisa
saja menyanyikan lagu-lagu Kristen (atau Katholik) dengan cara bersalawat (atau
seolah di-Islamkan). Akan tetapi, itu tidak mengeluarkan Emha dan Kyai Kanjeng
sebagai orang Islam. Hal itu terjadi karena Emha tidak ”mempermainkan” syariah
yang baku. Ia hanya memodifikasi produk kebudayaan yang bersifat parsial, yang
tidak bisa diklaim sebagai milik khas satu hasil identitas budaya beragama
tertentu. Irama lagu tidak bisa dikaitkan sebagai sesuatu yang suci sehingga
tidak boleh diganggu-gugat, apalagi dimodifikasi. Hal yang ditawarkan Emha dan
Kyai Kanjeng adalah sebagai upaya kreatif bahwa agama tidak selayaknya menjadi
sesuatu yang menutup interkulturalisasi kebudayaan.
Emha menawarkan bahwa tidak selayaknya agama
menjadi satu stigma budaya. Karena stigma budaya dapat menjadi suatu upaya menggeneralisasi atau
mengidentifikasi ciri-ciri budaya tertentu. Dalam generalisasi atau
identifikasi tersebut terjadi reduksi, atau bahkan disalahartikan, sehingga
menjadi ciri yang negatif, menjadi stereotip budaya lain yang berbeda karena
latar agama yang berbeda. Perbedaan dan penilaian negatif tersebut seolah
menjadi mitos dan lambat laun terkesan
sebagai sesuatu yang alamiah.
Hal itu dikondisikan oleh negara Orde Baru dengan
politik kebudayaannya yang membangun kebudayaan berdasarkan struktur dan
oposisi-oposisi biner. Negara melakukan pengkotak-kotakan identitas dalam dua
posisi yang berhadapan. Hal itu menjadikan sulitnya relasi terbuka antarbudaya.
Dalam struktur oposisi biner tersebut seseorang mengalami penyederhanaan
identitas dalam politisasi tertentu. Dalam kondisi itu, munculnya ketidakharmonisan
dan konflik baik atas nama ideologi tertentu, atau atas nama identitas tertentu
yang saling berhadapan.
Berkaitan dengan kekuatan diskursif pembentuk
kultur tersebut, memang negara memiliki kemampuan umum dalam mengelola
kebudayaan warganya sejauh itu berkaitan dalam kepentingan politik, ekonomi,
bahkan agama. Akan tetapi, negara tidak perlu menjangkau nilai-nilai kultural
yang telah tertanam jauh dalam diri masyarakat/individu terutama berkaitan
dengan nilai-nilai lokal, dan nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan budaya
yang dibangun negara. Dalam konteks tersebutlah novel-novel pada masa Orde Baru
cukup leluasa mengelola perbedaan dan persamaan dan relasi antarbudaya lokal.
Persoalannya
adalah bahwa karya sastra tidak sekadar dimaksudnya sebagai karya sastra tanpa
memiliki pretensi dan tujuan tertentu. Sebuah cerita tentang proses
interkulturalitas bukan makna, pesan, dan tujuan dari keberadaan karya sastra.
Karya sastra justru bagian dari upaya pemaknaan itu sendiri sehingga keberadaannya
perlu dimaknai (makna atas makna) sebagai satu cara manusia atau masyarakat
untuk memikirkan berbagai kemungkinan tentang kehidupan. Dari berbagai
kemungkinan tersebut, manusia atau masyarakat mendapat informasi dan
pengetahuan tentang hakikat kehidupan.
Interkulturalisme Sebagai
Strategi
Proses dan mekanisme interkulturalisasi di
Indonesia memperlihatkan gejala yang berbeda untuk setiap lokalitas dan
konteksnya. Pada masa-masa dulu, proses interkulturasi berjalan lambat. Hal ini
berkaitan dengan sarana dan mekanisme pertemuan antarbudaya yang belum memadai
seperti transportasi dan sistem komunikasi yang belum berkembang. Itulah
sebabnya, lokalisme budaya masih sangat tinggi karena masyarakat secara
kultural masih terikat dengan kepentingan lokalitasnya (nilai-nilai,
norma-norma, adat istiadat, agama, kepercayaan-kepercayaan lokal). Segala hal
yang berbau lokalitas dijadikan identitas oleh masyarakatnya karena masyarakat
juga tidak memiliki banyak pilihan.
Di lokasi sosial tertentu tempat orang sering
bertemu dari berbagai asal, misalnya daerah pelabuhan (pantai), memperlihatkan
gejala kultural yang lebih beragam dibanding lokasi sosial tertentu yang tidak
banyak dikunjungi. Di Indonesia, gejala bahwa lokasi sosial daerah pantai lebih
memperlihatkan keragaman budaya bukan merupakan kisah yang baru (Wertheim, 1999).
Daerah Aceh sebagai pelabuhan paling ujung utara Indonesia, atau pun daerah
sepanjang pantai utara pulau Jawa, hingga sepanjang pantai Maluku dan Ambon,
lebih memperlihatkan keragaman kultural dibanding daerah Yogya atau Solo.
Memasuki abad ke-20, Indonesia mengalami
perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan. Dimungkinkan oleh perkembangan
transportasi dan komunikasi (darat dan udara), pertemuan dan pergesekan
antarbudaya semakin cepat. Novel Umar Kayam Para
Priyayi hingga Jalan Menikung, secara ”kronologis” memperlihatkan perkembangan
bagaimana proses perkembangan interkulutral itu terjadi dari waktu ke waktu di
Jawa dan Indonesia. Pada tahun 1910-an hingga 1930-an, pada waktu itu orang
menempuh satu lokasi yang berbeda bisa berjam-jam karena hanya naik
dokar/delman. Akan tetapi, mulai tahun 1960-an, terlebih setelah tahun 1980-an
(Jalan Menikung) jarak berbagai kota
di dunia bisa ditempuh hanya dalam waktu beberapa jam.
Memang, dalam sejumlah
novel Indonesia, mulai dan setelah tahun 1960-an digambarkan sebagai
tahun-tahun perkembangan dan perubahan yang cepat, walaupun perkembangan dan
perubahan tersebut tidak berjalan secara merata di bebagai wilayah Indonesia.
Dalam novel Mantra Pejinak Ular karya
Kuntowijoyo, misalnya, beberapa desa di Jawa tidak mengalami perkembangan yang
merata. Antara desa Tegalkemuning dan desa Tegalpandan, dua lokasi setingkat
kecamatan yang tidak berjauhan, tidak sama perkembangnnya hanya karena di
Tegalkemuning ada beberapa pabrik sehingga orang berdatangan ke daerah itu. Diceritakan
pula dalam novel tersebut bagamana di Tegalkemuning itu pada tahun-tahun itu
telah mulai dimasuki radio, televisi, dan sebagainya.
Hal yang menarik adalah bagaimana novel-novel
menggambarkan mekanisme dan proses interkultural. Berdasarkan perhitungan alur
dan perkembangan cerita, yakni ketika terdapat sejumlah identifikasi perubahan
di dalam peristiwa cerita, baik mengenai kejadian tertentu atau kewacanaan
tertentu, maka paling tidak terdapat tujuh kategori mekanisme
interkulturalisasi, yaitu mekanisme (1) nasihat dan ideologisasi, (2) migrasi,
akulturasi, dan asimilasi, (3) pelatihan dan pendisiplinan, (4) teknologisasi
dan industrialisasi, (5) bertambahnya pengalaman, (6) konflik dan kekerasan, dan
(7) persuasi ke-seni-an.
Sebagai misal mekanisme migrasi. Di dalam novel
banyak tokoh mengalami pengalaman interkultural setelah migrasi dari tempat
tinggalnya. Rasus, dalam Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari, mengalami banyak perubahan setelah migrasi dari
rumahnya, kemudian tinggal di Pasar Dawuan, dan kemudian bertemu dengan Siti
yang membuatnya menjadi ”Islami” daripada sebelumnya yang abangan. Lasi dalam Bekisar Merah, setelah tanpa sengaja
migrasi ke kota besar, ia menjadi wanita desa yang modern daripada sebelumnya.
Hampir sebagian besar novel mengandalkan mekanisme
nasihat untuk proses-proses pembentukan kepribadian dan kultural. Sastrodarsono
dalam Para Priyayi, atau atau Pak Bei
dalam Canting karya Atmowiloto adalah
”juru bicara” bagaimana berbagai nilai
dan kepentingan sosial atau politik diperbincangkan atau disuarakan. Hal itu
dimungkinkan karena Sastrodarsono dan Pak Bei, berdasarkan pengalamannya yang
banyak, merupakan ujung dari simpul interkultur. Sebagai ujung dari simpul
interkultur, mereka ingin memperpanjang simpul itu dengan cara yang baru yang
berbeda dengan diri mereka.
Itulah sebabnya, pada
akhirnya, cara dan tujuan cerita menjadi satu strategi tersediri bagaimana interkulutralistas
kebudayaan dibayangkan, dan dengan berbagai cara dan lapis sudut pandang
penafsiran, kesusastraan dimaksudkan sebagai sarana berkomunikasi untuk
mempersoalkan masyarakat dan kebudayaan secara lebih universal. Cerita yang
terdapat di dalam novel bukan makna atau maksud itu sendiri, tetapi suatu
pembayangan terhadap harapan-harapan tersembunyi, bahkan bersifat ideologis.
Itulah sebabnya, diperlukan satu tafsir yang kondusif dan relevan berkaitan
dengan bagaimana persoalan kebudayaan dapat menjadi salah satu isu strategis
dalam proses-proses pengembangan kebubdayaan.
Imajinasi dan Persepsi:
Mencari Arah
Persoalan berktunya adalah
imajinasi interkulturalitas seperti apa yang terjadi dalam novel-novel
Indonesia. Apakah
imajinasi tersebut lebih sebagai bagian dari satu konstruksi persepsi individu,
atau konstruksi sosial, atau konstruksi wacana dominan, atau suatu resistensi
kultural, atau lebih sebagai semacam harapan kultural. Mengapa hal tersebut
terjadi.
Persoalan
tersebut mau tidak mau perlu melihat sejarah keberadaan dan karakter
novel-novel Indonesia. Pada masa pendudukan kolonial, novel-novel Indonesia
tidak tampil dalam karakter aslinya karena mendapat kontrol yang cukup ketat
dari pemerintahan kolonial. Novel-novel pun tampil dengan dan dalam wajah yang
“normatif” mempersoalkan dan merepresentasikan interkulturalitas dalam wilayah
yang tidak saling mengeluarkan atau memasukkan frame budaya yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Novel-novel
yang secara terbuka melakukan resistensi kultural dianggap sebagai bacaan liar.
Kebiasaan itu berjalan hingga masa pendudukan Jepang, walaupun Jepang cukup
singkat menduduki Indonesia.
Pada
masa revolusi, novel-novel Indonesia memperlihatkan kesibukan yang cukup
sensitif dalam membangun nasionalisme. Itu artinya, novel-novel pada masa
revolusi, walau tidak banyak, berjalan dalam aras yang sama dengan kehendak
negara untuk membangun satu nation
berdasarkan Indonesia yang majemuk. Akan tetapi, seperti diketahui, masa
revolusi juga gagal untuk membangun sesuatu yang dianggap Indonesia sebagai
proses panjang interkulturalisasi. Konflik dan perang-perang lokal ataupun politis cukup banyak terjadi, dan
berujung pada suatu konflik politis dan ideologis, yakni peristiwa 1965.
Bangkitnya masa Orde Baru
ternyata membawa karakter yang sama seperti dijalankan pemerintahan kolonial.
Orde Baru tampil dalam satu manejemen politik dan ekonomi yang canggih sehingga
semua hal justru sangat terkontrol, dengan adanya istilah waskat, pengawasan melekat. Manajemen politik dan sosial seperti
dijalankan Orde Baru sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan karakter
novel-novel Indonesia seperti telah disinggung di depan.
Artinya, memang, novel
merupakan persepsi individu atau sosial, atau konstruksi sosial pada umumnya
sebagai satu sistem yang terintegrasi dengan sistem sosial lainnya. Akan
tetapi, dalam sikap-sikap yang kompromistis terhadap tekanan wacana dominan
manajemen politik Orde Baru, novel Indonesia tetap berusaha mencari satu
representasi interkulturalitas yang bebas dari berbagai tekanan politik atau
ekonomi. Hal ini dimaksudkan bahwa sastra Indonesia dalam karakternya
menempatkan dirinya sebagai satu resistensi dan sekaligus sebagai harapan kultural.
Bagaimana dan ke mana resistensi ataupun
harapan kultural itu berhembus, mari kita kaji kembali secara cermat
kesusastraan Indonesia. * * *
Daftar Pustaka
Asante, M.K., Newark, E. & Blake,
C., (Eds). 1979. Hanbook of Interculture
Communication. Sage: Baverly Hill.
Atmowiloto, Arswendo. 1986. Canting. Jakarta: Gramedia.
Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A
Multicultural Approach. Oxford:
Blackwell
Jary, David dan Julia Jary, 1991,
"Multiculturalism". Hal.319. Dictionary
of Sociology. New York:
Harper.
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Gramedia.
Kayam,
Umar. 2002 (1999). Jalan Menikung (Para Priyayi 2). Jakarta: Grafiti.
Kuntowijoyo. 2000. Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Leur, J.C. van. 1955. Indonesian
Trade and Society, Essays in Asia Social and
Economic History. Den Haag: van Hoeve.
Lotman, Jurij. 1977. The
Structure of the Artistic Text. Michigan: University of Michigan.
Pavis, Patrice. 1992.
The Theatre of the Crossroads.
Routeledge: London and New York.
Reed,
Ishmed (ed). Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Penguin.
Teeuw, A. 1985. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta:
Gramedia.
Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 1985. Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 1993. Bekisar Merah. Jakarta: Gramedia.
Watson, C.W., 2000, Multiculturalism.
Buckingham-Philadelphia: Open
University Press.
Weber, Max. 1958. The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism. New
York: Charles Scribner’s Son.
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi
Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
[1] Paper pendek ini direpresentasikan pada
kuliah Sastra dan Interkulturalisme,
Program Studi S2 Sastra Pascasarjana FIB UGM, Yogyakarta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar